Penjual Kerupuk Sarden di Palembang Berpacu dengan Musim, Andalkan Terik Matahari
Info Kota Palembang – Panas matahari di tengah siang Kota Palembang, Sumatera Selatan (Sumsel), sering kali menjadi keluhan bagi masyarakat yang beraktivitas di luar ruangan. Namun, di balik teriknya sinar mentari yang menyengat, ada sebagian warga yang justru menggantungkan penghidupannya pada panas tersebut. Salah satunya adalah Sunarti (39), penjual kerupuk sarden yang berjualan di bawah Jembatan Musi 6, Kecamatan Seberang Ulu I, Palembang.
Bagi Sunarti, panas matahari bukan sekadar cuaca ekstrem, melainkan “rekan kerja” yang menentukan kualitas dagangannya. Ia menuturkan bahwa pengeringan kerupuk sarden harus dilakukan secara alami di bawah terik matahari agar teksturnya renyah sempurna saat digoreng.
Baca Juga : Siswa SMK Palembang ‘Pantau SPBU’, Kenali BBM Berkualitas Lebih Dekat
“Kalau matahari nggak panas, bisa gagal kering, kerupuk jadi lembek dan gampang berjamur. Jadi kami memang berharap cuaca panas seperti ini,” ujarnya sambil tersenyum saat ditemui, Senin (6/10/2025) siang.
Sunarti mengaku telah menekuni usaha kerupuk sarden sejak hampir 10 tahun terakhir. Ia memproduksi sendiri dagangannya di rumah kecilnya di kawasan 7 Ulu Palembang, sebelum kemudian dijemur di lapangan terbuka dekat bawah jembatan Musi 6.
Proses pembuatannya tidak sederhana. Adonan kerupuk dibuat dari campuran sagu (umak sagu), garam, penyedap rasa, dan ikan sarden giling yang dibeli langsung dari pasar tradisional langganannya.
“Ikannya kami pilih sendiri. Harus segar, biar aroma kerupuknya nggak amis. Sehari bisa pakai sampai 10 kilogram ikan sarden,” jelasnya.
Setelah bahan dihaluskan dan dicampur rata, adonan tersebut diolah menjadi bentuk panjang menyerupai mie dalam proses yang disebut memirik. Hasilnya kemudian dikukus dan dijemur di bawah sinar matahari hingga benar-benar kering. Proses penjemuran bisa memakan waktu dua hingga tiga hari, tergantung cuaca.
“Kalau musim hujan datang, susah sekali. Kadang kami harus jemur di dapur pakai kipas atau oven kecil. Tapi hasilnya tetap beda, tidak sekering kalau dijemur di bawah matahari,” katanya.
Kerupuk yang sudah kering dijual dengan harga Rp15.000–Rp20.000 per bungkus, tergantung ukuran dan jenisnya. Dalam sehari, Sunarti mampu menjual hingga 30 bungkus, terutama di akhir pekan saat banyak warga Palembang datang berwisata ke kawasan tepian Sungai Musi.
Selain menjual langsung di bawah jembatan, Sunarti juga menerima pesanan dari warung makan di sekitar Seberang Ulu dan Kertapati. Ia mengaku penghasilannya bisa mencapai Rp300.000 per hari saat cuaca cerah dan produksi lancar. Namun jika hujan turun terus-menerus, hasilnya bisa turun drastis hingga separuhnya.
Meski menghadapi tantangan cuaca yang tidak menentu, Sunarti tetap tegar. Ia menyebut bahwa pekerjaan ini adalah warisan dari ibunya, yang dulu juga berjualan kerupuk ikan di kawasan yang sama.
“Saya cuma meneruskan, tapi sekarang ikannya beda, dulu pakai ikan gabus, sekarang sarden. Yang penting tetap bisa buat hidup anak-anak,” tuturnya dengan nada haru.
Sunarti berharap pemerintah daerah dapat membantu pelaku usaha kecil seperti dirinya, misalnya dengan menyediakan rumah pengeringan (drying house) sederhana agar produksi tidak terganggu saat musim hujan.
“Kalau ada tempat jemur beratap tapi tetap panas, kami sangat terbantu. Jadi tetap bisa kerja walau hujan turun,” tambahnya.
Panas yang menyengat di tengah hari mungkin menjadi beban bagi sebagian warga Palembang, tetapi bagi Sunarti dan banyak pengrajin kerupuk lainnya, sinar matahari justru menjadi sumber kehidupan — energi alami yang menjaga keberlangsungan ekonomi kecil di tepian Sungai Musi.